Mengenang Sang Maestro Si Burung Merak W.S Rendra

    Dr. Willibrordus Surendra Broto Rendra, S.S., M.A. atau yang sering dikenal dengan panggilan W.S. Rendra merupakan seorang aktor sekaligus sastrawan Indonesia yang lahir di Solo, Hindia Belanda pada 7 November 1935 dan meninggal di Depok, Jawa Barat pada 6 Agustus 2009 di usianya yang ke-73 tahun.

    W.S. Rendra menempuh sarjana dengan Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ia mendapatkan beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 – 1967). Rendra kerap kali dipanggil dengan julukan “Si Burung Merak.”

    Dilansir dari data Primer, awal mula munculnya julukan “Si Burung Merak” adalah saat Rendra mengajak seorang teman dari Australia berjalan-jalan ke Kebun Binatang Gembiraloka di daerah Yogyakarta. Setibanya di kandang merak, Rendra menunjuk seekor merak jantan yang bertengger dengan buntut indahnya sedang dikelilingi oleh merak-merak betina, “Seperti itulah saya, ” katanya. Menurutnya burung merak melambangkan tentang orang yang senang memperlihatkan keindahan.

    W.S. Rendra dikenal melalui sajak-sajak puisinya yang sangat bermakna bagi kehidupan, baik di kalangan sastrawan maupun masyarakat umum. Ia mulai mempublikasikan karya-karyanya di tahun 1952 melalui majalah. Salah satu puisinya yang melegenda adalah yang berjudul

    MAKUMAMBANG

    Karya: WS Rendra

    Kabut fajar menyusut dengan perlahan.Bunga bintaro berguguran di halaman perpustakaan.Di tepi kolam, Di dekat rumpun keladi, Aku duduk di atas batu, Melelehkan air mata.

    Cucu-cucuku!Zaman macam apa, peradaban macam apayang akan kuwariskan tehadap kalian.Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang.

    Kami adalah angkatan pongah.Besar pasak dari tiang.Kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan.Karena kami tidak menguasai ilmuUntuk membaca tata buku masa laluDan tidak menguasai ilmuUntuk membaca tata buku masa kini.Maka rencana masa depan hanyalah spekulasi keinginan dan angan-angan.

    Cucu-cucuku!Negara terlanda zaman edan.Cita-cita kebajikan terhempas waktu, Lesu dipangku batu.Tetapi aku keras bertahan mendekap akal sehat dan suara jiwa.Biarpun dicampak di selokan zaman.

    Bangsa kita ini seperti daduTerperangkap di dalam kaleng utang, Yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa, Tanpa kita berdaya melawannya.Semuanya terjadi atas nama pembangunan, yang mencontoh tatanan pembangunan di zaman penjajahan.Tatanan kenegaraan, Dan tatanan hukum, Juga mencontoh tatanan penjajahan.Menyebabkan rakyat dan hukumHadir tanpa kedaulatan.Yang sah berdaulatHanya pemerintah dan partai politik.

    O, comberan peradaban!O, martabat bangsa yang kini compang-camping!

    Negara gaduh.Bangsa rapuh.Kekuasaan kekerasan merajalela.Pasar dibakar.Kampung dibakar.Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar.Tanpa ada gantinya.Semua atas nama takhayul pembangunan.Restoran dibakar.Toko dibakar.Gereja dibakar.Atas nama semangat agama yang berkobar.Apabila agama menjadi lencana politik, maka erosi agama pasti terjadi!Karena politik tidak punya kepala.Tidak punya telinga. Tidak punya hati.Politik hanya mengenal kalah dan menang.Kawan dan lawan.Peradaban yang dangkal.

    Meskipun hidup berbangsa perlu politik, tetapi politik tidak boleh menjamahruang iman dan akaldi dalam daulat manusia!

    Namun daulat manusiadalam kewajaran hidup bersama di dunia, harus menjaga daulat hukum alam, daulat hukum masyarakat, dan daulat hukum akal sehat

    Matahari yang merayap naik dari ufuk timurtelah melampaui pohon jinjing.Udara yang ramah menyapa tubuhku.Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur.

    Berdengung sepasang kumbangyang bersenggama di udara.Mas Willy! istriku datang menyapaku.Ia melihat pipiku basah oleh air mata.Aku bangkit hendak berkata.Sssh, diam! bisik istriku, Jangan menangis. Tulis sajak.Jangan bicara.

    KECOA PEMBANGUNAN

    Karya: WS. Rendra

    Kecoa Pembangunan.Salah dagang banyak hutangTata bukunya di tulis di awanTata ekonominya ilmu bintang..kecoa…kecoa…ke…co…a…..Dengan senjata monopoliMenjadi pencurikecoa…kecoa… ke…co…a….Dilindungi kekuasaanMerampok negeri iniKecoa…kecoa…ke…co…a…Ngimpi nglindur di sangka PertumbuhanHutang pribadi di anggap Hutang BangsaSuara di bungkam agar Dosa BerkuasaKecoa….kecoa… ke…co…a…Stabilitas, stabilitas katanyaGangsir BankGangsir Bank, KenyataannyaKecoa…kecoa…ke…co…a…Keamanan, ketenangan katanyaMarsinah terbunuh, petani di gusur, kenyataannyaKecoa Pembangunan, Kecoa bangsa dan negaraLebih berbahaya ketimbang raja singaLebih berbahaya ketimbang pelacuranKabut gelap masa depan, Kemarau panjang bagi harapanKecoa…kecoa… ke…co…a….Ngakunya konglomeratNyatanya macan kandangNgakunya bisa dagang, Nyatanya banyak hutangKecoa…kecoa…ke..co…a…Paspornya empat, Kata buku dua versiKatanya pemerataan, Nyatanya monopolikecoa…kecoa…ke…co..a…

    SAJAK BULAN MEI 1998DI INDONESIA

    Karya: WS. Rendra

    Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-rajaBangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanAmarah merajalela tanpa alamatKelakuan muncul dari sampah kehidupanPikiran kusut membentur simpul-simpul sejarahO, zaman edan!O, malam kelam pikiran insan!Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaanKitab undang-undang tergeletak di selokanKepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberanO, tatawarna fatamorgana kekuasaan!O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!Dari sejak zaman Ibrahim dan MusaAllah selalu mengingatkanbahwa hukum harus lebih tinggidari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentaraO, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!Berhentilah mencari Ratu Adil!Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!Apa yang harus kita tegakkan bersamaadalah Hukum AdilHukum Adil adalah bintang pedoman di dalam praharaBau anyir darah yang kini memenuhi udaramenjadi saksi yang akan berkata:Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyatapabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsaapabila aparat keamanan sudah menjarah keamananmaka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasalalu menjadi penjarah di pasar dan jalan rayaWahai, penguasa dunia yang fana!Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?Apakah masih akan menipu diri sendiri?Apabila saran akal sehat kamu remehkanberarti pintu untuk pikiran-pikiran kalapyang akan muncul dari sudut-sudut gelaptelah kamu bukakan!Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu PertiwiAirmata mengalir dari sajakku ini.

    Sumber Primer                                                              Oleh : Anwar Resa                                                    Jurnalis Nasional Indonesia

    Anwar Resa

    Anwar Resa

    Artikel Sebelumnya

    Ombudsman RI Soroti BBM Subsidi yang Sulit...

    Artikel Berikutnya

    Misteri Kamar 308 Hotel Grand Inna Samudra...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Kapolri Sebut Pengamanan Nataru Akan Dilakukan 141.443 Personel
    Bantu Pencegahan Penyakit Kaki Gajah, Babinsa Kuala Kencana Dampingi Petugas Kesehatan Pada Saat Survey dan Pengambilan Sampel Darah
    Pelaku Pemukulan Pelajar Masih Berkeliaran, Kinerja Polsek Medan Area di Pertanyakan
    Polda Jabar Ungkap Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Pelanggaran Aturan Penempatan Pekerja Migran Indonesia Secara Tidak Prosedural
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan dan Paradoks Kebijakan

    Ikuti Kami